Seperti Mencabut Duri, Sakit!

Siang tadi aku mendapat invitation meeting dari Pak manager. Awalnya aku malas, namun sepertinya aku tahu agenda meeting yang cuma 30 menit ini. "Discussion with Ria". Kalau pakai bahasa inggris begini, biasanya Pak Kepala Divisi yang orang Perancis itu akan join meeting. Baiklah, aku akan join. Aku berharap mendapat hasil terbaik.

"Hai Ria, how do you feel?", tanya Mister F si bapak kepala divisi. 

Jujur saja, aku tak paham maksud pertanyaan itu. Apakah aku harus menjawab, aku baik-baik saja? Aku senang, aku lega?

"Yah, I am Fine Mr F. However, I think I am not proceeding to work in this company."

"Oh, may I know what is the reason?", tanyanya lagi. 

"Same as before", jawabku singkat. 

Sepertinya mereka tidak menyangka aku sekekeh ini. Teringat kurang lebih sebulan yang lalu aku mengirim surat resign. Hal yang dianggap seperti petir di siang bolong oleh Pak Manager. Betapa tidak, stafnya yang selama ini rajin pisan, semangat, tak ada angin tak ada hujan mengirimkan surat pengunduran diri. 

Pak Manager sempat bertanya apa alasanku resign. Dia hanya paham bahwa aku tak nyaman. Anehnya dia malah menyamakan aku dengannya, yang ga nyaman karena terlalu banyak complain dari customer. Padahal akar masalahnya bukan itu. Secara mudahnya si aku resign karena kurang cocok dengan sistemnya, meski cinta dengan pekerjaannya, dan gajinya tentu.

Anehnya dia tak mencegahku sama sekali. Walaupun dia memuji cara kerjaku yang nampak profesional. Percayalah dulu aku pernah bekerja di perusahaan yang toxic juga, tapi aku membalasnya dengan kerja yang asal-asalan. Suatu saat aku sadar, bukan begini cara pergi yang benar. Setidaknya pergilah dengan bangga, dengan prestasi dan pujian. Dari situlah aku memulai untuk menjalani sesuatu dengan sungguh-sungguh, dan dari hati. Ada atau tidak ada yang mengawasi. Ada kepuasan sendiri ketika mampu memberikan yang terbaik yang kita bisa. 

Pak Manager tak mencegah, namun dia akan meneruskan ke Kepala Divisi. Itu dikatakannya sebulan lalu setelah menerima surat pengunduran diriku. Dan tak berapa lama, benarlah aku diajak ngobrol sama Pak Kadiv. Hasil akhirnya adalah aku akan mempertimbangkannya dalam jangka waktu sebulan, atau berakhir di Tanggal 31 Agustus ini. Sayangnya setelah sekian bulan lalu aku istikharah, dan melihat tak ada harapan lagi di perubahan sistem serta management, aku menyatakan mundur. 

Hal ini tidak mudah, karena aku menyukai pekerjaannya sebagai Sales Engineer. Tapi aku ga mau menjadi orang yang kerja hanya untuk mencari duit tanpa memberikan value kepada customer. Beberapa kali saya resign, dan itu akar masalah yang ada. 

Teman-teman, dan fasilitas langsung aku siapkan. Rencana minggu depan aku kembalikan. Yang paling membuatku sedih adalah ketika membuat file berisi nama-nama customer, dan sampai mana proses mereka. Customer-customer banyak yang terabaikan dari jaman dulu. Mereka baru dekat kembali setelah aku coba deketin. Aku coba bantu, kalau ada pertanyaan yang tak bisa dijawab, aku mohon waktu untuk menanyakan ke support. Saat menulis nama-nama mereka, aku ceritakan remark dan progress, serta hutang apa saja yang belum terselesaikan dari pihak perusahaan, disitulah aku merasa khawatir. Aku takut mereka akan bingung harus mencari siapa, dan bertanya ke siapa. Seperti anak ayam yang kehilangan induknya. 

Aku takut, lega, sedih, bahagia jadi satu. Seperti lepas dari toxic relationship. Semoga para customer menemukan jalan keluar masing-masing. Semoga perusahaan ini mampu menghargai customer lebih baik lagi dibanding masa yang lalu-lalu. Dan tentu semoga aku mendapatkan jodoh pekerjaan yang pas sesuai nurani. Amiin...


0 comments:

Posting Komentar