Background :
Cewe ini pernah cerita. Tiap saaat dia ditelponin bos, bahkan ditungguin di sebelah mejanya diliatin bagaimana dia kerja. Dia merasa tidak dipercaya. Dia kadang merasa bodoh, apalagi kalau pas meeting sering implisit menghinanya. Dia merasa tidak dihargai. Dan yang lebih parah, dia boleh kasi saran kalau sudah mencapai target penjualan. Padahal dia ingin cerita, bahkan target ini ga realistis dan dia merasa overwhelmed. Tapi karena sudah ada statement seperti itu, akhirnya menyimpan beban itu sendiri.
Permasalahan :
Nah masalahnya adalah ketika dia curhat ke teman-temannya, banyak dari mereka yang malah bilang gini, "udah sabarin aja", "ya emang kerja ya kek gitu", "jangan cengeng, yang semangat", "kamu digaji kan untuk menyelesaikan masalah", "kamu mah masih enak, lah bos guwe" ye malah kek pertandingan, "kurang iman kali lu", "disyukuri aja lah yang penting digaji".
Tahukah kalian, hal-hal tersebut bukannya membantu, justru membuat sesuatu yang tidak benar menjadi seolah benar. Padahal kalau dibiarkan saja itu jadi toxic workplace, bahkan bisa membuat depresi, demotivasi kerja, dan juga menurunkan kinerja karyawan. Yang paling parah kalau hal itu dibiarkan, mereka kena psikosomatis, atau penyakit organ dalam yang akan ketahuan setelah sekian tahun kemudian. Dampak bagi perusahaan, ya lama-lama orang ga nyaman, ketika mereka nemu perusahaan baru, maka mereka memilih resign. Turnover karyawannya akan tinggi. Padahal mempertahankan karyawan loyal jauh lebih efficient dibanding hire karyawan baru, belum lagi pelatihan, mentoring, coaching, dll. Effortnya lebih banyak, masih rugi waktu. Harusnya tinggal jalani kerjaan, masi ada waktu jeda untuk mencari talent, menganalisis talent, dan men-training talent.
Sebelumnya aku berterimakasih kepada cewe ini yang mau percaya untuk sharing pengalamannya denganku. Kalau sampai kepikiran, berarti dia niat kerja. Dia ga mau kerja yang separuh hati, yang penting digaji. Tapi dia peduli baik terhadap dirinya, maupun kesehatan perusahaannya. Tapi ada yang perlu lu tahu, banyak dari perusahaan2 62 yang memiliki karakter micromanaging seperti itu. Hah, apaan tuh. Jadi micromanaging adalah salah satu bentuk kepemimpinan yang overcontrol terhadap karyawannya. Dampaknya bukan main-main, selain penurunan kinerja, tapi juga bisa kena mental (psikis) karyawannya.
Herannya banyak karyawan yang tidak menyadari karakter management seperti ini. Ada baiknya kita cari tahu yuk, 5 tanda micromanaging (micromanager) agar bisa berdamai dengan itu semua.
So Ria Marliana di sini, di podcast Self Healing, mencoba belajar berdamai dengan luka melalui pendekatan spiritual & karakter golongan darah.
Teori :
1. Tidak pernah puas dengan hasil kinerjamu
2. Emosi berlebihan
3. Fokus berlebih pada progress pekerjaan
4. Ingin selalu tahu, dimana timnya berada dan apa yang dia kerjakan.
5. Menuntut update secara terus-menerus.
Awalnya mungkin kamu ga akan merasa berat, tapi lama-lama kamu bakal merasa sendirian, berjuang sendirian. Lalu kamu akan ditimpa stress berlebihan, hingga rasa tidak nyaman dan ingin pergi. Kalau sudah kena mental, kamu ga akan bisa mengurai, reason dibalik perasaan itu. Ga tau kenapa, ga nyaman aja. Nah gini gini udah kena jiwa tuh. Kalau masih bisa diurai, itu baru di ranah perasaan. Misal marah karena deadline terlalu mepet, marah karena difitnah. Semua itu masih bisa dijelaskan, dan itu belu terlalu parah, separah kena mental.
Alasannya apa sih sampai ada gaya kepemimpinan kek gitu? Biasanya sang manager memiliki karakter "merasa dirinya perfek", cara dia paling Oke, dan semua karyawan harus mengikuti caranya. Sedangkan cara selain itu dinilai salah dan gak akan berhasil. Jikalau ini ilmu eksak, ya gapapa, absolut. 1+1=2. Tapi ini adalah human, ilmu sosial dimana 10 tidak selalu 1+9, bisa saja 5+5, dan semua benar. Orang punya caranya masing-masing, dan bisa jadi itu lebih cocok dengan area kerjanya saat ini.
Alasan yang kedua adalah, bos semacam ini adalah bos yang easy to worry, dia mudah khawatir. Entah dia pun diancam juga oleh atasannya, atau terancam harus goal biar bisa bayar cicilan mobil or rumah. Jiwanya jadi ga tenang. Makannya selain dia harus mengendalikan setiap perilaku bawahan, dia juga overreaction ketika target meleset atau gagal. Alih-alih mencari akar masalahnya dimana, dan apa yang perlu diperbaiki, dia sudah berprasangka bahwa yang salah adalah karyawannya karena tidak mengikuti caranya.
Menurut guwe, ini penyakit jiwa sih. Dan penyakit jiwa itu nular btw. hahaha. Kayak virus. Kalau cuma satu dua orang seperti itu, mungkin dampaknya gak akan terlalu berasa untuk orang lain. Tapi kalau ini sudah menjangkiti jajaran management, ya jangan heran kalau turnover karyawannya sangat tinggi.
Suggestion :
Terus gimana solusinya? Untuk perusahaan, buatlah sistem yang jelas bahkan kalau perlu detail mengenai jobdesc masing-masing peran. Bahkan ada istilah OKR yang dipakai oleh Google. Tapi aku ga akan bahas disini karena belum memahami lebih jauh. Yang pasti merekrut orang di jajaran management juga butuh assesment yang menyeluruh, bukan hanya dari satu sisi.
Sedangkan buat kamu, ada baiknya mencari pihak yang mau menampung keluh kesahmu, misalkan SPI atau psikolog internal perusahaan. Karena ketika jiwa yang kena, hal penting adalah komunikasi. Tentu yang paling utama adalah sholat istikharah, dan tertibin sholat. Itu komunikasi ke yang punya solusi. Setelah tenang, baru akan ditunjukkan dan dimantapkan apakah stay di perusahaan tersebut, atau memilih resign. Apapun keputusanmu, semua tidak akan mudah. Tapi setidaknya jangan menjalani sesuatu karena terpaksa, terpaksa ah karena butuh duit. Someday kamu akan burnout, jiwamu yang kena. Mental health itu jauh lebih penting daripada physical health. Trust me.
Micromanaging hanyalah salah satu ciri dari Toxic Workplace, semoga next episode kita bisa membahas mengenai Tanda-tanda Toxic Workplace dan yang bisa juga terjadi di rumah tangga. Bukankah rumah tangga juga miniatur dari sebuah perusahaan?
Hasbiyalloh wani'mal wakiil.. ni'mal mawla wani'mannatsiir.
Stayloved and ... asaalamu'alaykum wr wb
0 comments:
Posting Komentar