Leader and Mental Health

Seorang manager melaporkan bahwa ada anak buahnya yang potensial mengajukan pengunduran diri. Tentu saja dia tidak menyangka, karena selama enam bulan ini pekerjaannya bagus, Tidak terdengar keluhan sama sekali. Manager ini menyayangkan karena pengalamannya sudah cukup bagus sebagai seorang sales. Terbukti banyak klien yang puas dengan pendekatannya. 

Sang manager ini sudah berusaha untuk menggali alasannya resign, namun hanya ada satu kata yang bisa dia tangkap. "Exhausted". Si anak ini merasa kelelahan dalam bekerja karena tidak memiliki worklife balance. Sabtu minggu ingin sekali mematikan HP, namun dia merasa bersalah apabila melakukannya. Dia ingin memiliki private life. 

Dengan berat hati, sang manager mengatakan bahwa kalau memang sudah dipertimbangkan dengan matang, maka hal ini akan dia ajukan ke atasannya. 

Saya tidak terlalu mengenal karyawan ini secara personal, tapi saya tahu bahwa dia memiliki potensi yang besar sebagai seorang sales representative. Basic mindsetnya senada dengan visi dan misi perusahaan. Tidak dipungkiri bahwa ada satu dua posisi yang tidak memiliki batasan yang jelas antara worklife and private life. Secara tidak sadar, itu menyebabkan kelelahan di dalam jiwa. Percaya ataupun tidak, tapi hal tersebut bisa membahayakan kesehatan mental seseorang. 

Kali ini saya berinisiatif menghubungi karyawan tersebut, menanyakan kabar, dan mengatakan bahwa saya kaget mendapat kabar bahwa dia akan mengundurkan diri. Saya mengatakan yang sejujurnya bahwa ia memiliki potensi besar, setidaknya menurut pandangan saya pribadi. Lalu saya meminta ijin untuk berbicara via telepon untuk berbincang-bincang ringan mengenai permohonannya. Tak berapa lama dia pun membalas, dan mengiyakan. 

Benarlah bahwa dia mengalami kelelahan jiwa. Saya mencoba menggali apa saja yang selama ini menjadi beban pikirannya. Personally, saya ingin tahu apa permasalahannya, dan apa yang bisa kulakukan untuknya. Perbincangan yang awalnya hanya 30 menit, akhirnya menjadi 60 menit. Saya memposisikan diri sebagai seorang psikolog. 

Di akhir sesi percakapan, dia berterimakasih padaku bahwa tidak banyak leader yang mau dengan tulus memahami sudut pandang karyawannya. Dia banyak menemukan leader yang mau menerima feedback apabila telah mencapai target. Dia juga banyak melihat leader yang seolah ingin membantu, namun tidak menjadi pendengar yang baik. Tidak mendengarkan sama sekali. Namun dia berterimakasih, dari awal dia bergabung, saya mau mendengarkan dengan seksama, mencatat, mengklarifikasi, dan mensummary. Dia merasa dihargai, dan merasa didengarkan. 

Saya senang setidaknya bisa sedikit meringankan beban jiwanya. Sesederhana mendengarkan dengan penuh empati. Saya mengatakan padanya, saya akan sedih jika dia tetap pergi. Saya berharap, dia mampu mempertimbangkan kembali keputusannya. Meskipun saya tidak bisa memaksakan apapun.

- a leader - 

Leader dipilih bukan hanya untuk mengejar target profit, tapi juga untuk membuat karyawannya merasa secure, baik jiwa dan raga. 

0 comments:

Posting Komentar