Ijinkan kali ini aku menceritakan kisahku sendiri. (Lah emang biasanya gitu sih kak).
Untukku ini sebuah keputusan besar kedua setelah memutuskan resign dari Bank di tahun 2017. Saat ini aku memutuskan untuk resign dari Perusahaan Jepang tempatku bernaung selama kurang lebih tiga tahun terakhir. Banyak hal menyenangkan, menyedihkan, dan juga menggemaskan. Hahaha.
Tiga tahun lalu merupakan saat berat di ujian hijrah yang pertama. Detailnya sudah aku bagi di podcast di serial Taubat Adventure. Hingga aku menemukan Perusahaan ini sebagai tempat pelabuhanku. Berharap ini menjadi yang terakhir. Ibarat oase, dia muncul di saat yang sangat tepat dan sangat ga masuk akal. Allah tuntun setiap langkahku, yang kelihatannya sulit dilogikakan, namun faktanya kami sampai ke dalamnya dengan mudah. Such a great thing isn't it?
Berhubung perusahaan ini masih startup, baru dua tahunan berdiri, maka kami pun merintis membeli barang-barang dan merintis kantor cabang Semarang. Kenapa aku bilang merintis? Karena tidak ada perlengkapan sama sekali kecuali bangku dan kursi di coworking space. Aku, rekanku satu lagi, dan bos Jepang, berbelanja perlengkapan dari pensil sampai ke printer. Semua kami lakukan sendiri tanpa bantuan dari Admin Pusat. Banyak lucunya karena memang Bos Jepang dan kami memiliki kultur berbeda.
Di tengah kesibukan tersebut, kami tetap merintis babad alas di daerah Jateng. Yap itu area kerja kami sebagai Sales Engineer. No clue, no instruction. But it's fine. Layaknya goldar B yang suka mengeksplor banyak hal baru, itu tak jadi soal. Sesekali kami berdiskusi dengan Bos Jepang. Eit jangan salah, gitu-gitu dia tinggi besar ga kayak orang jepang kebanyakan. Bahkan tingginya melebihi orang lokal. Meski beda kultur, kami bisa menemukan jawaban yang memuaskan darinya. Dia pintar dan mau mendengarkan keluh kesah di lapangan. Sampai kurang lebih setahun kami bekerja dengannya, kabar kurang menyenangkan itu datang. Yap, bos kami itu ditarik kembali ke Jepang. Meski dia itu kadang nyebelin, tapi aku ga bisa bohong kalau ini mengagetkan.
Benarlah, sepeninggalnya semua terasa sulit. Bukan karena pekerjaannya, tapi komunikasi kami ke pusat. Biasanya bosku itu yang menjadi penyambung lidah ke pusat. Maklum orang pusat itu mayoritas orang Jepang. Decisoin maker nya adalah mereka. Ketika bos jepang kami itu ditarik, otomatis kami tak punya penyambung lidah yang dipercaya.
Ada sih penggantinya, sayang banget orang lokal. Selain itu si pengganti ini kurang dipercaya sama pusat. Sementara pusat ga mau langsung kontak-kontakan dengan kami. Pusat maunya lewat si pengganti ini dulu, kalau ga kelar baru eskalasi ke atas. Yang jadi kendala adalah, perusahaan ini belum ada SOP yang jelas. Mungkin karena masih baru atau memang kultur mereka begini, I dunno.
Sehingga banyak terjadi penyelewengan credit. Hasil kerja siapa, yang ngakuin siapa. Belum lagi hal-hal receh lainnya yang menurutku itu dzolim dan tiak sesuai dengan perjanjian awal kerja. Akhirnya aku berada dalam status quo. Memutuskan tak bergerak. Karena ketika maju ke cust, ada dua kemungkinan :
1. Perusahaan ini belum siap untuk menerima proyek karena sistem belum established.
2. Hasil kerja keras kami diakui pihak lain yang seharusnya mengayomi.
Kurang lebih setahun dalam status quo tersebut, hati ga nyaman. Meski pihak kantor ga mempermasalahkan status quo tersebut dan mereka pun sudah paham posisiku, tapi aku tetap ga bisa membohongi diri. Magabut, makan gaji buta. Mungkin itu istilah yang paling tepat. Aku ga bisa jelasin dengan kata-kata gimana ga nyamannya hati. Memang secara nalar logika, dih udah enak di jaman kek gini masih ada kerjaan, gaji gede, no pressure. Bersyukur napa sih lo?
Mungkin banyak selentingan setan yang berseliweran. Ga salah sih, tapi kita beda kacamata saja. Kalau aku cuma cari enaknya dunia, dah cukup bahkan lebih-lebih. Tapi aku merasa bersalah sama Allah, kacamataku lebih ke hatiku. Ini ga berkah. Kenapa? Karena gaji dan value yang aku berikan ke perusahaan sangat timpang.
Aku teringat saah satu kisah seseorang yang mengeluhkan gajinya yang tak pernah cukup. Setelah ditelusuri oleh sang syaikh, ternyata ada kedzoliman yang tidak disengaja. Kok bisa? Antara gaji dan value yang diberikan kepada pihak majikan ternyata timpang. Gajinya lebih besar daripada nilai pekerjaannya. Akhirnya sang syaikh (dhi Imam Syafii) menyarankan agar meminta pengurangan gaji kepada sang majikan.
Beberapa hari kemudian, orang tersebut kembali lagi ke syaikh dan berterimakasih karena setelah dikurangi sekian dirham dari gaji biasanya, eh malah cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Karena sesuatu yang diberkahi pasti akan mencukupkan. Sesuatu yang bukan jatahmu, justru akan membuatmu merasa kurang-kurang.
Dari niatan itulah aku memutuskan untuk mencari perusahaan lain yang sistemnya sudah established. Dengan harapan meminimalisir kedzoliman, baik aku terhadap perusahaan maupun sebaliknya. Selain itu tentunya mencari sesuatu yang lebih berkah, ga magabut lagi.
Alhamdulillah ada salah satu perusahaan yang bersedia menerimaku. Butuh beberapa untuk mengiyakan tawaran tersebut. Jujur, motivasi terbesarnya adalah "aku pengen kerja beneran". Bukan yang seolah-olah kerja. I know, jangankan niat yang baik, niat yang buruk aja akan ada ujiannya. Apalagi kalau niatnya mencari Allah, pasti ujiannya lebih berat. Karena itu bukti dari komitmen kita.
Benar saja, seminggu bahkan sampai dua minggu pertama rasanya burn out. Jetlag. Email dan whatsapp dari customer serta bos datang silih berganti, bahkan di luar jam kerja. Ketambahan lagi halangan. Beuh khan main subhanalloh. Itu rasanya kek pengen teriak, tapi ga bisa. Waktu itu aku cuma bisa doa, "Ya Allah, kalau aku salah, tolong maafkanlah. Kalau ini ujian darimu tolong kuatkanlah. Tak ada harapan lain, cuma ingin makin dekat denganMu". Concern ku waktu itu memang jam ibadah. Yah kuakui, mungkin karena mensutruasi, jadi hati rasanya lemah, jauh dari Allah, dan mudah terbebani.
Ga pakai lama, begitu kelar berdoa, tali ikatan dalam hati tu kek kendor. Memang tetap aja ada email, kerjaan, bahkan sampai di luar jam kerja. Tapi pelan-pelan Allah ringankan semua itu. Yap karena kerjaan ane bukan kerjaan yang stay di kantor, jadi kadang paperwork harus dilanjut dikerjakan setelah jam 5 sore. Beberapa kali ane kerjakan pagi hari. Yep, I am a morning person.
Begitu tenang, aku tahu akar masalahnya bukan soal kerjaannya. Bukan soal paperwork di luar jam kerja, tapi ketakutannya. Aku takut salah, aku takut bosku men-cap buruk, aku takut dinilai buruk oleh manusia. Endingnya adalah stress sendiri. Dari situlah aku sadar, aku salah. Bukan karena mereka, tapi karena aku takut kepada selain Allah.
Bukankah awalnya menerima pekerjaan itu karena ingin ridho Allah? Kenapa jadi mencari ridho manusia? Bukankah ketika mencari ridho Allah, semua terasa lebih mudah? Bahkan jauh lebih produktif dibanding sebelumnya. Karena rasa takut terhadap dunia, membuat kinerja kita tidak fokus. Jadi gak akan optimal. Kalau fokusnya ke Allah, pasti Allah bukakan jalan mengingatnya meski kerjaan kayaknya overload. Karena kita mendapat berkahnya waktu dari Allah.
Semoga buat siapapun yang membaca ini, diringankan pekerjaannya. Ingat, waktu itu akan kurang-kurang kalau fokus kita adalah ridho manusia. Tapi waktu akan turah-turah kalau yang kita kejar adalah ridho Allah. Kalau dapet berkahnya waktu, kerjaan apapun insha Allah kelar dengan kualitas teroptimal dari diri kita. Amin.
0 comments:
Posting Komentar