Dibalik Senyum Itu

Aku mengenalnya sebagai wanita yang sangat beruntung. Meski aku tahu kehidupannya berat. Ayah ibunya bercerai sejak masih SD kelas 5. Masa kecilnya pun tak pernah melihat orang tuanya akur. Berantem every single day. Setelah perceraian pun, dia tak lepas dari penderitaan. Ya menurutku sih itu penderitaan, tapi siapa sangka dia tak merasakannya sepertinya. Salah satu keuntungan menjadi orang ga peka kan gitu, menderita tapi tak merasakannya. DIa hanya tahu bahwa hidup ya seperti itu. Tak ada hidup yang ideal, yang ada ya jalani saja. 

Sebagai temannya, tentu aku peduli dengannya. Sampai kuliah, dia masih tak punya kekasih, dan anehnya tak pernah ingin punya kekasih. Pernah iseng aku nanya, "Lu pen nikah ga sih? Or punya anak gitu?"


Dia cuma senyum kecut. "Aku tak percaya lelaki". Sebenernya aku tak kaget dengan jawaban singkatnya itu. Meski tak harus diucapkan, aku tahu seberapa keras ibunya mendidiknya. Seberapa dalam pendidikan sang ibu membentuk pribadinya.


Kami pun terpisah lama. Tak ada kabar. Selang berapa tahun kemudian, kami bertemu. Sama-sama balik ke kampung halaman. Dan yang aku suka darinya, tak pernah sekalipun canggung. Kami seperti kawan yang tak bertemu sejam dua jam saja. Obrolan mengalir kesana kemari, tak terasa ada gap sama sekali. She looks beautiful. Senyumnya lebih indah dari yang dulu-dulu. Lebih lepas. 


"Anak lu berapa?", tanyaku. Ya, aku tahu dia udah menikah dengan lelaki yang aku tak kenal sama sekali. 

"Dua", jawabnya sembari memandang mataku yang penuh tanya. 

Sepertinya dia bisa membaca pikiranku. Lalu dia membuatku tersedak dengan pertanyaan menohoknya.

"Kenapa? Lu pikir guwe bakal single selamanya? Yayaya dulu guwe pernah bilang ke lu, kalau guwe ga percaya lelaki. Apalagi sampai punya anak dari mahluk bernama lelaki. Big no. I know it"


Sembari tersenyum, dia menceritakan pertemuannya dengan sang suami. Bagaimana dunia serasa berbalik 180 derajad ketika bertemu dengannya. Lalu dunia berbalik lagi karena berpasangan memang tak seindah cerita dongeng. Tapi nyatanya mereka berujung ke sebuah pernikahan. Tentu dengan banyak tantangan. Banyak keributan, banyak perselisihan.


Dia trauma, takut mengalami kejadian yang sama dengan ibunya, bercerai. Di masa-masa beratnya itu, dia menemukan Allah. 


Tentu dia tak akan mampu melewatinya, tanpa pertolongan Allah. Seberapa kencangnya dia berusaha mengikat suaminya, jikalau bukanlah rezekinya, ya akan lepas juga. Begitupun sebaliknya. Jikalau masih rezekinya, seberapa keras dia berusaha melepaskannya, akan kembali juga. 


Sejak saat itu dia paham, fokus pernikahan bukanlah tentang dia dan suami. Tapi antara dia dan Allah. Suami, anak, hanyalah ujian. Mereka hanya perantara komunikasi antara dia dan Allah. 


Jadi kalau ada problem, baik dengan suami, anak-anak, atau siapapun, pihak pertama yang harus dimintai tolong adalah Allah. Dia yakin, dari sanalah Allah akan bimbing langkahnya satu demi satu. 


Aku lega mendengar cerita panjangnya. Setidaknya dia menemukan sandaran hidup yang tak akan pernah mengkhianatinya. Tempat bergantung yang Maha Kuat, Allah. 


*inspired by kisah nyata dengan sedikit distorsi

0 comments:

Posting Komentar