Menjelajah Hutan Kehidupan [Berkawan Dengan Rasa Takut]

Ketika Angel membuka mata, dia kaget karena sudah ada di tengah hutan belantara. Siang hari namun terasa gelap. Angel bingung, tak tahu harus kemana. Dia mencoba melangkah namun berkali-kali terjatu dan tersandung. Dia ingin keluar dari hutan ini, namun seolah dia berputar-putar di tempat yang sama. 

Untuk sesaat dia terdiam, dia tidak tahu harus maju, berbelok ke kanan, ke kiri, ataukah lurus. Dia tidak tahu apakah jalan yang nantinya dia pilih akan membawanya ke tempat yang lebih baik, atau justru mengantarkannya ke dalam bahaya, misalkan sarang macan, atau sarang buaya.   

Angel tak berani bergerak. Dia hanya diam, hingga sang usia memanggilnya pulang. 

Seperti itulah gambaran kehidupan. Kita seperti terdampar di dalamnya tanpa pilihan. Kenapa harus ke dunia? Kita harus kemana? Seperti sudah terlanjur hidup. Kemudian ketakutan itu melanda. Semakin besar dan semakin besar hingga menenggelamkanmu. Ingat ga ketika masih kecil, kalian itu ga ada takut-takutnya. Coba inget-inget lagi, kalian ga peduli ketika jatuh saat latihan berjalan, ga peduli ketika naik sepeda. You have fun. Kalian banyak mencoba hal-hal baru, hingga makin dewasa kalian menjadi pribadi yang pengecut. Kenapa coba?

Anak kecil itu dosanya masih dikit, jiwa mereka dekat dengan Allah, dekat dengan penciptanya. Jiwa mereka secara ga sadar itu percaya sama Allah, ga peduli tentang noice, yang kalian mau adalah belajar. Tak takut jatuh, tak takut salah. Just do it. 

Semakin dewasa, semakin banyak informasi yang diperoleh, semakin banyak database, semakin pintar logika kita, tapi lupa bahwa yang Maha Kuasa adalah Allah. Kita semudah itu menggantungkan keberhasilan kepada ikhtiar kita (saja). Lupa bahwa tak ada daun yang jatuh kecuail seijin Allah. Kita takut kecewa, kita takut sakit, kita takut gagal. 

Kita terlalu sibuk dengan noice hingga kita lupa tujuan hidup kita adalah Allah. 

Sebut saja namanya Fulan. Suatu ketika Fulan berada di situasi yang sangat sulit. Di suatu pagi pimpinannya memimpin rapat. Semua pegawainya disuruh masuk ke ruangan. Semua orang bertanya-tanya ada apa. Jarang sekali pemimpinnya mengajaknya rapat. Dengan muka murung pemimpinnya mengumumkan keputusan pahit. Perusahaan harus ditutup karena penurunan profit bahkan hingga menderita kerugian. Fulan jujur saja sangat terpukul demi mendengar hal itu. Fulan telah bekerja selama bertahun-tahun. Fulan tak pernah menyangka. Dia kaget dan panik. Di usianya yang menginjak 35 tahun tidaklah mudah menemukan pekerjaan baru. Sampai rumah dia melihat anak dan istrinya yang menjadi tanggung jawabnya. Ingin tersenyum tapi ga bisa. 

Meski diberi waktu sebulan untuk mencari pekerjaan pengganti, namun Fulan pesimis jikalau dia akan mendapatkannya sebelum batas waktu itu. Kepalanya terasa kencang, seperti semua saraf tertarik ke dalamnya. Hatinya terasa sempit. Dadanya terasa sesak. Di tengah himpitan stress itu, dia tetap berusaha apply lamaran-lamaran di banyak perusahaan. Semua teknik melamar kerja dia terapkan. Semua kenalan-kenalan dia coba hubungi, barangkali dari merekalah jalan keluar didapat. Namun semuanya zonk. 

Lamaran-lamaran yang dia ajukan pun seperti angin lalu. Dighosting. Tapi hidup harus terus berjalan. Tinggal 3 hari lagi sebelum kantornya benar-benar tutup, namun tak ada satu bintang kejora pun muncul. Kepalanya semakin kencang terikat. Semua daya dan upaya sudah dia kerahkan. Sudah tidak tahu lagi harus bagaimana. Sampai pada titik dia stuck. Otaknya pun sudah tidak bisa berfikir. Kalian tahu ga, ketika panik, kinerja otak nalar manusia bisa turun lebih dari 50%? 

Ibarat Fulan sedang terdampar di tengah hutan, dipenuhi pohon rindang, tak tahu jalan keluar. Takut, panik, jantung berdegup kencang, Fulan merasa sendirian. 

Di saat itulah Allah memberi ilham ke dalam hatinya. Fulan berkata sendiri di dalam hati, "Aku memang sudah tidak bisa apa-apa lagi. Aku sudah tidak bisa bergerak, aku terjepit. Tapi aku masih punya kekuatan untuk mengambil air wudhu, dan sholat".

Tak berapa lama, Fulan mengambil air wudhu. Hatinya sedikit tenang, Sajadah sudah terbentang. Fulan tak mengharapkan apapun saat itu. Dia hanya ingin hatinya tenang. Di sholat itulah diai menangis. Dia mengakui bahwa dia tak punya kuasa apa-apa lagi. Dia tak berdaya. Dia serahkan dirinya dan keluarganya kepada Allah. Biar Allah yang tuntun. "Terserah Allah saja, kami mau dibawa kemana", begitu bisik hatinya.

Memang solusi mungkin belum langsung datang. Tapi beban di hati anehnya langsung hilang. Dia percaya saja, bahwa semua milik Allah, dan akan kembali kepada Allah. Artinya nasibnya pun sudah dalam genggaman Allah. Tak berapa lama, ada perusahaan yang memberinya kesempatan bekerja di dalamnya. Tak disangka, gaji yang ditawarkan jauh melebihi ekspektasinya selama ini. Dia percaya bahwa bersama kesulitan, pasti ada kemudahan. 

Seperti Fulan, ketika hatinya berserah dia bisa melihat Allah ada di sana. Menemaninya menyusuri hutan kehidupan. Tak ada rasa takut, tak ada rasa gelisah dan khawatir. Dia percaya dan mengimani bahwa Hutan Kehidupan ini adalah kepunyaan Allah. Bagaimana mungkin dia masih khawatir, jikalau dia dituntun oleh Yang Maha Mengetahui seluk beluk yang diciptakanNya?

Jadi, takut itu ada karena kita merasa sendirian di Hutan ini. Bayangin kalau ketika menjelajah hutan, atau mendaki gunung, ada temanmu yang sudah tahu betul seluk beluk hutan tersebut. Bahkan dialah yang menciptakan dan mengurus hutan itu. Bukankah jiwamu akan merasa tenang? 

Allah lah yang akan selalu menemani kita menyusuri hutan kehidupan ini. memang kita tidak pernah tahu di depan kita seperti apa. Ga tahu masa depan kita seperti apa. Namun, ketika kita mengikuti Allah, inshaAllah semua pasti beres. Allah tahu mana yang baik dan tidak baik di depan sana. Tugas kita adalah fokus mendekati Allah. 

Fulan sempat mengira bahwa setelah mendapat pekerjaan, dia akan bebas dari ujian. Eit, tapi ternyata ada ujian lain yang menunggu. Simak episode selanjutnya ya. 

0 comments:

Posting Komentar