Terasa Berharga Ketika Sudah Ga Ada

Pagi ini suami dapat kabar duka, ibunya. Aku selalu menyebut beliau eyang, untuk melatih anak-anakku juga. Usianya tidak lagi muda, mungkin sekitar 70 an tahun atau lebih. Aku merasa sedikit kaget tapi tahu bahwa ini bakal terjadi. Hanya tetap saja ga nyangka kalau hari itu adalah hari ini. Seketika aku terdiam, dan pelan-pelan aku menyampaikan kabar ini ke si sulung. Suamiku pasti jauh lebih shock mendengar kabar itu. 

Terakhir kali bertemu sekitar dua setengah bulan lalu. Meski jarak rumah dengan rumah beliau hanya sekitar 1,5 jam, namun kami meminimalisir kunjungan karena pandemi. Dikhawatirkan justru kamilah yang membawa virus itu. 

Aku merasa aneh karena ga bisa nangis. Tapi jujur di lubuk hati terdalam aku merasa kehilangan. Kenangan tentang beliau tiba-tiba berseliweran. Fyi, kami ga terlalu dekat. Beliau ada sedikit masalah di pendengaran sehingga kami jarang ngobrol. Aku sungkan kalau ngobrol harus teriak-teriak. Memilih duduk sambil tatap tatapan, tanpa banyak bicara. Kadang ngerasa ga nyaman sih. 

Sayang sekali aku dan anak-anak tidak bisa ikut melayat. Hanya suami yang bisa hadir demi keamanan. Aku gak tahu kudu ngomong apa. Sebelum berangkat, kupeluk kuusap-usap punggungnya. Ingin bilang turut berduka, tapi kalimat itu ga bisa keluar. Jujur aku pun ada di pihak yang sama.

Mertua seperti beliau bisa dibilang langka. Aku merasa dihargai, diberi ruang, tidak diatur-atur, apalagi diintimidasi. Gak ada tuh banding-bandingin dengan menantunya yang lain. Atau komplain atas kecuekanku selama ini. Ya kalau dibanding menantu yang lain sikapku bisa dibilang cuek, ga banyak nanya gitu loh maksudnya. Sesekali beliau menceritakan kisahnya ketika hamil muda. Inget banget waktu itu aku hamil si kakak, dan mual parah. Sebelum pulang, beliau memberiku freshcare. Melting deh. Ibu mertuaku selalu ngasih nasehat tanpa terasa menggurui. Perhatian dan kepeduliannya juga bukan yang lebay, langsung kasih sebotol fresh care coba. Byuh.

Belum berhenti sampai situ. Aku sempat daftar tes ASN (Aparatur Sipil Negara). Dulu disebutnya PNS (Pegawai Negeri Sipil). Aku dan suami officially meminta didoain. Beliau beneran mendoakan dong. Ga cuma sekali, sampai berbulan-bulan bahkan ketika aku sudah gagal tes pun namaku masih disebut dalam doanya. Kok aku tahu? Karena sehabis sholat, beliau selalu berdoa dengan suara keras. Mungkin karena masalah pendengaran beliau. 

"Ya Allah semoga Mbak Ria bisa bekerja jadi PNS", suara itu seperti baru kemarin.

Anyway, ternyata seseorang terasa berharga ketika sudah tidak ada..

Hal yang aku rasain ketika ketika nenekku meninggal dunia Maret kemarin. Benarlah bahwa akan selalu ada penyesalan di setiap kepergian seseorang. 

Seperti ada yang mengiris bawang di sini. Padahal tadi ga ada loh. Begitulah goldar B, di luar nampak kuat, padahal... 

ٱلَّذِينَ إِذَ أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌۭ قَالُوا۟ إِنَّا لِلَّٰهِ وَإِنَّ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ‎, 
 
'Those who, when an affliction visits them, say, 'Verily we belong to Allah, and verily to Him do we return [Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kita akan kembali]".
QS. Al Baqarah [2:156]

0 comments:

Posting Komentar