Masih Perlukah Ijazah di Jaman Now?

Agak miris sih sebenernya, gimana kita sering banget ribut untuk hal yang ga esensial sama sekali.
Dulu pernah ada kasus Bang Dedy Soesanto, lulusan S3 Psikologi Unpad yang berantem sosmed dengan Revina ST. Sampai-sampai akun instagram Bang Dedy dengan follower 700 ribuan tumbang. Tahu ga asal muasalnya apa? Revina sebagai selebgram mempertanyakan tentang background pendidikan dia apakah sudah memenuhi syarat untuk memberi terapi atau ga. 

Belum lama ini juga ada perdebatan di IG live antara Bang Drinking sama mbak siapa aku ga tau, tapi kalian barusan liat videonya di instagram. Silahkan yang mau lihat langsung ke sini ya.

Hidup di Indonesia itu susah susah susah. Karena aku belum tahu hidup di luar negeri kek apa, tapi udah sotoy aja yak. Hehehe. Ya kita obrolin dari satu sisi aja sih, tentang Sertifikasi atau Ijazah. Untuk bisa melakukan sesuatu kamu harus punya sertifikat. Naik motor kudu punya SIM, perpanjang tiap 5 (lima) tahun pula. Mengajar , memberikan konsultasi psikologi, apalagi kesehatan, harus ada ijazah atau sertifikatnya. Tapi lama-lama kok kebangetan. Too much.

Akhirnya saya ikut merenungkan. Pingin ikutan komen takut kepancing emosinya kalau ada yang ndebat. Bukannya kelar masalah, eh nambahin masalah. 

Di saat banyaknya perusahaan-pperusahaan besar mulai mengurangi salah satu standard masuk sbg karyawan, ya jangan kaget ketika Pinterest, Google, Bahkan Ellon Musk sudah tidak mementingkan sertifikat atau ijazah lagi. Bahkan mereka buka kelas pelatihan dan dapat sertifikat. Perusahaan itu sendiri yang menerbitkan. Poin yang lebih menggembirakan adalah kalian bisa bekerja di perusahaan-perusahaan mereka dengan sertifikasi itu.
Apakah mereka salah? Tentu tidak. Perusahan-perusahaan mereka kok, kenapa kita yang ngatur? Tapi tahu ga sih kenapa mereka sampai menerapkan kebijakan seperti itu?
Let's take a look. Lihat dari sisi yang berbeda. 

Sudut pandang yang kaya akan membuat kita tambah bijak.

Tidak semua yang bersertifikasi memiliki kemampuan (skill) yang dibutuhkan (sad, but's that the truth).
Selain itu persoalan emosi. Bukan soal marah dan baper ya, tapi lebih ke pengelolaan sikap. Miris sekali ternyata makin tinggi pengetahuan, makin banyak gelar, makin songong lah seseorang. Isitlah islam itu ujub. Ngerasa lebih baik dari orang karena atribut. Ya bisa karena ngerasa sholatnya lebih banyak, sedekah lebih banyak, dll. Emang matter ya kek gitu gitu? Jangan salah, banyak orang dengan IQ tinggi ga bisa berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain. Tanya HRD kalian deh. Padahal sebuah organisasi perusahaan butuh kerja sama tim. Dunia juga butuh silaturahim. Meski tidak semua, nyatanya banyak sehingga membuat perusahaan-perusahaan besar menerapkan aturan seperti itu.

Jangan lupa, setan juga pinter loh. Setan itu juga patuh sama Allah. Hanya saja mereka terpeleset akibat kesombongan. Merasa lebih baik dari Adam, protes sama Allah. "Ngebantah". Yang diserang bukan hanya esensi Adam, tapi dia menyangsikan perintah Allah. Ya, Allah pun diserang sama setan seolah-olah ooh setan meragukan perintah Allah, dia ga percaya bahwa segala perintah Allah itu adalah suatu kebenaran mutlak? Setan ngerasa lebih jago gitu daripada Allah sehingga ngebantah?

Kira-kira sampai sini sudah ada gambaran?
Malah ngobrolnya kemana-mana ya. Hakikatnya sertifikat atau ijazah hanyalah bukti bahwa kita pernah belajar di suatu tempat atau pada suatu bidang. Tidak ada jaminan bahwa ketika punya sertifikat atau ijazah kita memiliki skill di atas dewa atau di atas orang-orang yang tidak memiliki sertifikat.
Come on, ini era informasi. Untuk ranah skill, kita bisa pelajari sendiri. Kita lihat hacker, pakah mereka punya sertifikat? Tidak. Mereka hanya perlu membuktikan bahwa mereka telah meretas sebuah situs yang keren.
Desain grafis, perlukah mereka punya sertifikat? Nyatanya pembuktian dengan portofolio lebih meyakinkan perekrut. Udah pernah ikut sribulancer atau frelancer. Jujur, sebagai pelamar tanpa portofolio itu kek jarum berharap ditemukan di tengah tumpukan jerami.

Beda dengan ranah akademis. Yang harus dijaga idealismenya. Ada path atau step-stepnya. Ada perkembangan alur berfikir dan landasan teorinya. Itu bedanya SMK yang mmang disiapkan untuk ranah skill dan bachelor degree yang ditugaskan untuk mematangkan logika berfikir dan tentu saja untuk menjaga idealisme. Jagngan sampai 1+1 akan menjadi 5 di masa mendatang karena ini adalah jaman kreatif. Ada yang harus tetap menjaga ranah sunnah. 

Hadits Nabi tentang riba ya harus tetap dijaga. Karena saya yakin banyak praktisi yang mulai mengendorkan aturan tersebut. Dengan dalih ini jaman maju, tidak bisa lepas dari riba.

Seperti ilmu fisika, matematika, grammar, fiqih, Quran dan Hadits. Butuh pembuktian bahwa seseorang pernah lulus di suatu grade agar bisa melanjutkan ke grade selanjutnya. Tapi jangan too much ketika orang mau menasehati saja butuh sertifikasi. Beda kan antara skill dan juga knowledge. Sudah ya jangan ribut terus. Jangan diributkan terus, jangan suka ribut, ngurang-ngurangin rezeki tauk. 

Bedakan antara teoritikal dan pengalaman. Jangan jadi orang yang sombong dengan tidak mau menghormati nasehat yang lebih tua. 

Nyatanya anak pantai jauh lebih mahir berenang daripada mereka yang punya sertifikasi pelatihan renang. (Ga semua tapi rata-rata gitu ik)Kalau kita sombong dan ga mau ndengerin orang yang lebih mahir secara skill, ya kita tenggelam. Wongmereka lebih tahu medan daripada kita yg nilai 9 d dalam kelas

Kami tetap butuh goldar A yang menjaga idealisme, dan tetap butuh goldar B yang sangat realistis. yang sangat aplikatif.
Hidup tanpa aturan, layak ditakuti karena akan ada banyak gesekan-gesekan kepentingan.

0 comments:

Posting Komentar