Indonesia Darurat Empati Korban Pesawat Sriwijaya Air SJ 182

Masih belum kering air mata para keouarga korban Sri Wijaya Air SJ 182, tapi tak kalah mengejutkan adalah tersebarnya konten-konten di media sosial. Bener banget beberapa prediksi pakar tentang perubahan sosial yang diakibatkan oleh teknologi. Hilangnya empati.

Gimana ga, wartawan dan netijen tanpa peduli menanyai dan merekam kejadian seorang Bapak yang sedang menangis tersedu-seduh karena istri dan ketiga anaknya ada di pesawat itu. Sontak si Bapak bilang untuk segera matikan kamera, dia ga mau diwawancara. Tapi apa pedulinya, orang pencari berita itu tetap saja mengusik.

Seorang kakak yang sedang hancur karena calon suaminya ada di pesawat itu (entah ini berita benar atau karangan), si adik malah rekam setiap gerak gerik kakaknya tersebut. Untuk apa? Kontennya di tiktok. What a good brother, isn't it?

Ada lagi yang lain, tiba-tiba banyak bermunculan akun-akun palsu dari para korban SJ-182. Inalillahi wainnailaihi roji'uun.. Belum lagi yang video hoax mengatasnamakan pencarian jenazah korban dengan caption penemuan daging korban kecelakaan pesawat tersebut.

Dan masih banyak yang lain. Demi apa sih itu? Demi dapetin follower, demi konten, demi viral, demi endorsan, endingnya adalah demi CUAN. Lagi-lagi UUD (ujung-ujungnya duit). 

Sedih banget nonton orang yang pada ga punya hati seperti itu. Kayak mereka itu kebal dari hukum manusia. Barangkali mereka lupa bahwa kita bakal diuji atas apa yang kita omongkan. Sekarang kita bisa berbuat tanpa hati kek gitu, bisa saja kan besok kita sendiri yang mengalami? 

Bayangin kita jadi bapaknya, lagi sedih kehilangan ga cuma pasangan, tapi tiga anak tersayang sebagai generasi penerus. Kelucuan-kelucuan mereka, tiba-tiba ga bisa ketemu, tanpa pamit pula. Apa mereka pada belum punya anak? Sayangnya orang tua ke anak itu beda banget dengan sayangnya kita ke pasangan. Lebih dalam ada harapan besar dan tanggung jawab.

Bayangin kalau kita jadi si kakak, dia lagi sayang-sayangnya sama calon suami. Biasa telepon-teleponan.

Bayangin si istri yang menunggu di rumah, tapi suaminya yang seorang pramugara tidak akan pernah kembali lagi ke rumah. Dia harus melihat konten-konten di sosmed yang menunjukkan foto suaminya, dengan caption-caption menjual kisah pilu. 

Orang yang berhak untuk menceritakan kisah pribadi adalah pihak terkait sendiri. Ini malah overkepo dan berlomba-lomba share dengan bumbu-bumbu kesedihan. La ya gimana mereka ga trauma lihat sosmed dan media? Butuh waktu lama untuk menyembuhkan trauma tersebut. Bayangin coba kalau kamu yang ada di posisi mereka. Pingin move on tapi tiap buka sosmed, yang muncul adalah wajah-wajah orang terkasih.. What a nice, makasih loh para konten kreator Indonesia yang bisa banget dapetin ide konten demi viral.

Kalau itu termasuk perkara kecil di hadapanmu, bisa jadi itu suatu kedzoliman di hadapan Allah. Semakin banyak yang share, semakin jadi ladang dosa. Hayolo... Mikirin dunia boleh, tapi cek apakah bertentangan sama sudut pandang akhirat atau kagak. Kenapa? Karena kita ga akan selamanya hidup di sini. Kita juga bakal nyusulin mereka. Emang situ mau kematiannya dikomersilkan? Mending kalau duitnya dibagi ke ahlis waris, lah duitnya mah buat naikin rating endorsan akun-akun orang yang ga kita kenal. Wew..

Hampir-hampir umat lain bersatu memperebutkan kalian seperti orang berebut hidangan dari piring. Mereka bertanya, “Wahai Rasûlullâh apakah lantaran jumlah kita sedikit? Nabi menjawab, “Bah-kan kalian ketika itu banyak, tetapi keadaan kamu laksana buih se-perti buih banjir, dan Allâh akan menarik dari hati musuh kalian perasaan takut kepada kalian, lalu Allâh akan menimpakan kepada kalian penyakit Wahn. Mereka bertanya: Wahai Rasûlullâh apakah wahn itu. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Cinta dunia dan benci mati.“
Shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, no. 22296 dan Imam Abu Dawud dalam Sunannya, no. 4297 [1].

0 comments:

Posting Komentar