Antara Anak atau Karir Ketika Dibenturkan

Buat guwe bekerja di sebuah company besar itu tantangan tersendiri. Apalagi bekerja di perusahaan multinasional dan bisa berkeliling, mendapatkan fasilitas kendaraan operasional. Jiwa seperti kembali muda. Akan tetapi guwe "terpaksa" melepaskan hal itu. 

Ceritanya panjang. Bermula dari ketidaknyamanan yang ane rasakan ketika bekerja. Ane senang pekerjaan itu, meski ada satu dua tiga bahkan 100 hal yang tidak sesuai dengan SOP kerjaku, tapi ane masih bisa bertahan. Ketidaknyamanan itu berusaha aku diskusikan dengan Allah. Dan setelah 4 bulan merutinkan istikharah, guwe memutuskan keluar. Kok sampai selama itu? Karena aku belum menemukan kata mantap di satu pilihan. Anehnya setelah ane shalat istikharah, Allah memberikan banyak kejadian yang membuat ane makin tidak nyaman untuk bertahan. Sampai pada titik guwe tidak menemukan satu pun alasan untuk bertahan. Jadi keputusan itu bukan keputusan sehari dua hari. 

Setelah resign, ane memiliki rezeki lebih dalam hal waktu kebersamaan dengan anak. Guwe tetap ingin bekerja di sebuah perusahaan. Oleh sebab itu guwe tetap apply sana sini. Bukan lagi perkara gaji, tapi guwe mencari perusahaan yang menghormati private life karyawannya. Guwe juga tetap apply posisi pekerjaan sebagai sales, kenapa? karena guwe mencintainya. Sebenernya guwe udah mengikuti program kursus data analyst. Sayangnya, guwe tidak bisa bohong, ane tidak menikmati pekerjaan tersebut. Buat pribadi kek guwe, terlalu stuck di depan komputer seharian itu menyiksa. Sehingga daripada aku dzolim terhadap diri sendiri dan perusahaan nantinya, ane memilih pekerjaan sales. 

Ada beberapa yang tertarik dengan profile kerja guwe, tapi rata-rata pekerjaan tersebut jauh dari rumah atau harus keliling. Keliling dalam hal ini tu ga pulang bisa 4-5 hari per pekan. Tidak terbayang dalam benak saya untuk ninggalin anak selama itu. Akhirnya ane putuskan untuk mundur. 

Ane tetap percaya bahwa Allah pasti akan gantikan pekerjaan dan fasilitas yang kemarin ane tinggalkan dengan yang lebih baik. Kan kata Rasul saw barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, pasti Allah ganti dengan yang jauh lebih baik. Bukankah guwe juga pernah membuktikannya beberapa tahun lalu?

Setelah hampir 7 bulan ane menganggur, dan belum ada satupun nemu yang klik, ane mendapat tawaran interview di Tangerang. Semua berjalan sesuai rencana, sampai hari keberangkatan. Ane berangkat jam 8 malam ke stasiun. sampai stasiun pukul 10 malam. Kereta berangkat pukul 10.30. Saat ane pamitan ke misua dan anak-anak, anak pertama si sudah biasa ya. Dia sering melihatku pergi kerja. Tapi yang di luar dugaan adalah ane melihat titik air mata di sudut mata anakku yang kecil. Seketika runtuh lah pertahanan hati. Ada perasaan tidak tega melihat anakku yang kedua ini. Anak yang perasa namun tidak suka mengungkapkan sesuatu dengan kata. Yap usianya sudah 5 tahun, tapi dia tidak terlalu banyak bicara. 

Alhamdulillah keberangkatan ane batal karena terkendala vaksin booster. Besok paginya ane kembali bermain dengan anak-anak. Anakku yang kedua terlihat sangat riang melihat ane tak jadi pergi. Saat ini ane masih terus berdoa dan berusaha untuk melatih anakku ini lebih banyak bicara. Jujur, pertentangan batinku ada di sini. Ane baru sadar, bahwa anakku yang kedua sangat mengharapkan aku tetap di rumah. Seolah bilang, mamah di rumah aja main sama aku. Ane baru sadar, sejak aku bekerja kembali di usianya 1,5 tahun, dia menjadi jarang bicara hingga terakhir kali aku bekerja. 

Meski sedih karena keinginanku berpetualang di company harus aku relakan, tapi bahagia karena anakku yang kecil lebih ceria dan riang setelah aku tidak bekerja. Di sinilah titik persimpangan bahwa aku ingin selalu nemenin dia. Aku merasa, Allah pun ingin aku lebih banyak di dekat anak-anakku. Bukankah pendidikan anak adalah tanggung jawab orang tua, tapi khususnya ibu? Karena ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya?

Ane takut kalau nanti ditanya sama Allah, kenapa aku menelantarkan anak-anakku. Sekarang aku bisa berdalih karena aku harus mencari nafkah. Tapi aku tak yakin ini alasan yang bisa diterima Tuhanku. 

Ibarat kata aku kerja, aku dikasih tanggung jawab menjaga kebersihan area A. tapi karena area B tidak ada yang handle, aku pun ikut membersihkan area B. Sayangnya area A jadi terbengkalai. Kira-kira aku akan jawab apa pas ditanya bos?

Bos      : "Loh bukannya saya suruh anda membersihkan area A?"
Me       : "Maaf bos, area B tidak ada orang jadi saya ke area B"
Bos      : "Area B bukan tanggung jawabmu, saya yang bertanggung jawab di situ. saya yang akan mengutus orang untuk membereskan area B. Kamu boleh bantu, tapi tidak lantas membuat areamu sendiri terlantar"

Kira-kira bos itu berhak marah ga? Bukankah Allah bisa saja seperti itu? Bagaimana aku kembali kepada Tuhanku sementara tugas utamaku kacau demi membereskan yang bukan tugas utamaku? Bagaimana mungkin aku mengejar makanan penutup dan mengabaikan makanan utama?

Bagaimana pertanggungjawabanku nanti? 

Pikiran-pikiran itu lah yang selalu berkecamuk di kepala. Allah sudah jamin rezeki kita, jangan karena takut kehilangan rezeki kita mengabaikan tugas utama yang diberi Allah ke kita. 

Karir adalah kebanggan dan kesenangan egoku, tapi anak adalah amanah dari Allah, ada hak Allah di sana. Bagaimana bisa ane mengalahkan hak Allah demi hak ego ku? Gimana nanti aku menjelaskan kepada Rabb ku? 

Wallahua'lam bishawab...

0 comments:

Posting Komentar