Buatku menikah itu sebuah hal berat. Yep, buat orang yang biasa apa-apa jalan sendiri, mikir sendiri, nentuin jalan sendiri, kompromi bukanlah hal yang lumrah. Perbedaan kultur dan budaya pribadi merupakan GAP yang harus dijembatani. Hingga pada akhirnya aku bisa menemukan GAP tersebut. Apa itu? Dengan tidak ada yang memaksakan satu sama lain. Tetap menjadi diri sendiri, ga perlu memaksakan dia berfikir sepertiku, dan dia ga boleh memaksaku melakukan dengan jalan dia.
Tolong di highlight kata-kata "memaksa". Orang berubah tu bukan karena dipaksa oleh orang lain, tapi motivasi dari dirinya sendiri. Naluriah orang ga suka dipaksa-paksa loh.
Ditambah lagi dengan kita yang sudah menjadi ibu. Punya anak. Burden nya semakin nambah. Buatku pribadi, punya anak dengan karakter seperti suami, itu effort banget. Usia 7 tahun udah pinter banget ngatur-ngatur emaknya, udah bisa aja maksa-maksa, ngajak berantem, ngajak debat. Padahal emanya si introvert ini lelah jikalau terlalu lama berantem, terlalu tenggelam dalam perdebatan. Beneran deh. Ga suka debat. Kalau ga mau lakuin ya udah. Perbedaan watak di dalam sebuah rumah tangga, jujurly bisa sangat overwhelmed.
Di tengah gelombang organisasi keluarga, ya nyatanya bebannya tak lebih ringan dari sebuah perusahaan, emang bisa lebih stressfull dibanding dengan karyawan kantoran. Karyawan kantoran ada masa cuti, ada masa rehat, ada masa pulang ke rumah untuk melepas penat. Di organisasi yang bernama keluarga, semua berjalan ketika lu napas. Ga ada tuh waktu istirahat, cuti, apalagi liburan. Meski fisik dan raga mu tidur, meski fisikmu liburan, faktanya pikiranmu tetap bekerja demi menjaga keutuhan rumah tangga. Menjaga si bocils. Memikirkan masa depan anak. Mendoakan kebaikan dunia akhiratnya. Berharap Allah akan tuntun dan jaga mereka. Itu kenikmatan bekerja di perusahaannya Allah, seberat itu namun dengannya kita jadi ingat dan terkoneksi ke Allah, (selalu).
Biar aku kasih contoh ya, karena psikologi atau ilmu jiwa itu jauh lebih mudah dipahami dengan contoh kasus atau story.
Pagi ini seperti biasa si kakak isengin adeknya. Adeknya marah dong. Lumayan sensitif, ya kek emaknya lah. Adiknya marah tu main fisik, karena cara komunikasi dia lebih dominan pake action. Beda banget dengan kakaknya yang pake verbal, ngomelan atau cerewet gitu. Minta tolong lah si kakak ke ibuknya. Si ibu tu ogah langsung melerai gitu, kenapa? Biar mereka bisa belajar nanganin konflik. Tapi ga sampai 5 menit si ibu udah datang membawa makanan kesukaan adek. Ibu pasti tahu, ya itu cara mengalihkan perhatian si adik.
Si kakak protes, "Kenapa mama ga bantuin aku?"
Ibu, "Loh ini lo udah dbantuin. Emangnya mama bawa camilan ini buat apa? Biar adik ga mukulin kamu lagi."
Kakak, "Itu bukan nolongin namanya"
Ibu, "ooh jadi maumu nolongin kamu itu dengan bales mukulin adek, gitu?"
Kakak, "iya"
Ibu, "Oh ya ga bener kalau kek gitu kak."
Karena tak puas, si kakak kembali jailin adek, dengan nendang2 kecil di punggung adeknya yang udah asik makan cemilan.
Ibu, "Lo kok malah adeknya dijailin lagi lo"
Kakak, "Loh tadi kan adek mukul mukul duluan"
Si adek yang sensitif itu mengira dia yang ditegur langsung mendatangi sang ibu dan berusaha mukul-mukul.
Bayangin gimana ga stress, udah yang salah siapa, yang kena pukul siapa? Hahaha.
Karena udah mau kepancing emosi, si ibu segera beralih ke dapur, ambil kopi. Si adik masih aja ngejar sembari mukul-mukul. Tentu si adik udah sering dibilangin, jangan suka mukul-mukul, sakit. Buat tos aja. Tapi tadi, bahasa komunikasi dia bukan dengan verbal, tapi action, jadi ya kadang lupa.
Si ibu tahu ni batasannya seperti apa, karena dia tak mau kepancing emosi, dia naik ke loteng rumah dimana anak-anak tidak bisa mengejarnya. Di sana dia cuma bisa sebut hasbiyallah wani'mal wakiil... dan istighfar. Karena sampai ada kejadian itu tadi, pasti sudah ada ijin dari Allah. Kenapa Allah mengijinkan itu terjadi, ya karena ada maksudnya. Bisa jadi ini teguran karena mungkin, mungkin nih ada hal yang dia langgar. Misal sholat telat waktu, atau janji yang dilanggar, atau niat baik yang belum dipenuhi. Apapun itu, karena Allah masih anggep kita sbg hambaNya, masih sayang. Coba kalau udah ga dianggep, mau apa juga terserah yekan? Ga usah ditegur.
Tak sampai 10 menit di loteng, sang ibu kembali turun ke lantai bawah. Dengan wajah tersenyum.
Me time nya seorang ibu, bukan untuk kesenangan pribadinya. Me time seorang ibu adalah menjaga ketenangan batin sehingga bisa menjalankan tugas nya tanpa perlu marah-marah atau overbaper atau overreaction.
Tolong bapak-bapak, jangan mikirin me time kalian mulu. Dan jangan samain me time nya Anda dengan me time nya ibu. Me time nya ibu adalah our time.
Next kita bahas tentang toxic parents yuk, soalnya banyak orang salah paham tentang istilah ini. There is no toxic parents, yang ada hanyalah kita yang belum bisa memahami sudut pandang orang lain. Kalau seorang anak bisa melabeli orang tuanya dengan toxic parents, gimana kalau orang tua melabeli anaknya dengan toxic children??
Ga ada kan? Bukan karena mereka ga mampu, tapi mereka ga mau melabeli anaknya dengan label yang buruk. Karena label itu akan jadi doa. Orang tua ga mau anaknya menjadi orang toxic. Saking sayangnya mereka ke anaknya...
0 comments:
Posting Komentar