Buat kalian yang terbiasa memiliki mimpi, mengatur strategi untuk meraih mimpi-mimpi tersebut, dan disiplin dalam mengejar ambisi itu, finally mampu meraihnya, alhamdulillah..
Tapi, ada hal yang banyak orang lupakan ketika mencapai mimpi tersebut, apa?
Aku ga bisa bohong bahwa menjadi seorang ibu adalah tugas terberat sejauh ini. Makin hari, bukan makin mudah, tapi makin beradh. Seriously, ga pingin membuat sesuatu itu nampak mudah. To be honest, ane ga yakin andaikata Allah tugaskan tanggung jawab sebesar ini kepada para lelaki, bakal sanggup atau ga. Jangan-jangan banyak dari mereka yg justru kabur, atau malah nitipin anaknya ke panti. Canda. wkwkw.
Guwe pernah kerja di Bank Plat Merah bagian kredit yang very underpressure, ga cuma karena kerjaan yang tak terikat waktu, tapi juga karena risikonya. Risiko kena audit, risiko dipenjara, nyawa. Kalau cuma dikatain kebun binatang itu dah biasa, diancam dimatikan karirnya sih biasa.
Meski seberat itu tapi secara kasat mata santai aja. Ya awal-awal sih pasti butuh adaptasi, tapi lama-lama mulai terlatih & berpengalaman. Bisa lah untuk ngehandle itu. Bukan cuma soal handle PR kerjaan diri sendiri, tapi juga berhubungan dengan rekan kantor, bos, klien or nasabah. Makin PEDE. PEDE dengan kemampuan diri. Nampaknya ga ada yang salah kan? Padahal... hm..
Pengalaman kerja di BUMN itu dituntut bisa mengatur semua, dih tidak suka diatur tapi suka mengatur hahahaha. Koleris sekali yes. Berani berantem, head to head, bahkan sampai ada yang mau adu nyawa. Beneran. Itu dulu.
Tapi begitu dihadapkan dengan karir mendidik anak, kayak kecemplung di kawah candradimuka. Bukan hanya dilatih kuat secara empati, pikir, logika, namun juga iman.
Anak yang pertama kooperatif banget, belum terlalu berasa. Tapi anak kedua, beuh. Sedari masih dalam kandungan tuh kayak punya mau sendiri, begitu lahir makin nano nano. Usia belum genep sebulan, dinyanyiin lagu nina bobo malah rewel. Tapi kalau nyanyi lagu2 barat, eh anteng.
Ngelatih dia untuk buang sampah sejak usia 1 tahunan. Ga mau. Diterima sih sampahnya, habis itu dibuang begitu aja, werr. Begitupun ketika diminta untuk naruh baju kotor di tempat cuci. Malah dtaruh tempat sampah. habis itu dia ketawa-ketawa puas. Belum lagi soal cueknya. Dilatih ngomong ga mau. Tapi dia paham apa yang kami omongin. Ga emosi aja udah syukur.
Eit jangan sedih, karena kakaknya pun, ga mau kalah. Usia makin nambah, PR kita pun makin susah. Misal dimintai tolong, reaksi pertama adalah protes, kemudian minta penjelasan, kenapa harus aku, kenapa harus gini. Hm.. tidak heran kalau sama bokapnye berantem mulu. Sesama lelaki kan ga ada yang mau kalah. Misal udah dikasih penjelasan pun, masih bisa aja ngeles. Bolak balikin kata, walaupun kadang ga nyambung. Intinya emang sengaja bikin mamahnya kesel. Buat dia, itu adalah kepuasan tersendiri. Dia hepi kalau ada keributan. Wkwkwkw.
Di tengah banyaknya tantangan seperti itu, apalagi background gw yang biasa handle orang dengan reason-reason yang logis sehingga dituruti tanpa perlu maksa-maksa, eh ketemu ama anak-anak ini. Anak-anak kan belum bisa dibimbing dg cara begitu. Dominan dengan perasaan, membuat mereka percaya bukan dg jalan logika, tapi relation. Hubungan.
Titik terberatku adalah ketika adik berusia kisaran 3 tahun. Sebelumnya sempat berkunjung ke rumah saudara, dan dia dibandingkan dengan anaknya yang sudah mahir ini itu. Rasanya seperti gagal menjadi seorang ibu. Jujur, ungkapan itu pun sempat berpengaruh ke sikapku ke adik. Karena sebagai seorang ibu, aku lebih tahu dia daripada saudaraku itu. Aku tuh yakin adik bisa, hanya ga mau.
Itu seperti turning point, apapun yang tidak nyaman di hati pasti ga ada maksudnya. Yaitu, ngobrol in private sama Allah.
Pertama, aku istighfar, mengakui kesalahan-kesalahan di masa lalu yang pasti banyak banget. Baik kpd diri sendiri, keluarga, maupun orang lain.
Kedua, angkat tangan, menyerah, menyerahkan urusan ini ke Allah. Kemarin-kemarin aku sok PD dengan kemampuanku, sok iye bakal sanggup handle anak itu sendirian. Lupa tentang Allah. Ujub, takabbur.
Ketiga, memohon bantuan Allah, mengakui hanya Allah yang bisa bantu. Ya bayangin, aku as ibunya aja, orang yang paling deket dengannya, tidak sanggup merubahnya. Tidak sanggup membuatnya bilang IYA, kalau memang hatinya ga mau. Tak lupa aku berdoa agar disabarkan dikuatkan terhadap apapun skenario Allah nantinya.
Seketika tuh kek tenang aja. Rasain deh kalau kalian menyerah ke Allah, mengakui Laa hawla walaa kuwwata ilaa billah, insha Allah hatimu ringan. Allah langsung bantu angkat beban itu dari hatimu.
Kalau udah tenang, solusi itu keliatan. Sebenernya sih udah dari kemarin-kemarin ada solusi, tapi hati kita terlalu kemrungsung sehingga ga bisa melihatnya.
Lambat laun, mulai diperlihatkan progress anak-anak, terutama si adik. Sudah banyak suaranya, kadang nyanyi-nyanyi sendiri walaupun pelafalannya belum jelas, sesekali juga komen. Misal, pagi-pagi aku ngomong sendiri, "duuh masih ngantuuk". Eh tak ada angin tak ada hujan si adik komen, "bobo ajah". Tapi kalau disuruh ngulang ga mau. Kayaknya dia kelepasan, terus malu. Gitu-gitu tuh ga cuma sekali loh. Kalau mau ya ngmong ya ngomong, kalau ga ya ga. Ga bisa dipaksa orang pokoknya.
Sstt...dia juga udah mau buang sampah & merapikan sesuatu. Tapi atas kemauan sendiri. Bayangin. Setelah 2 tahun lalu dikasih tahu. Eh baru dilakuin.
Harus kuakui, ternyata ada banyak hal di luar kuasaku...
Ini adalah pelajaran akidah terbesar ketika punya anak, bukan hanya jadi manageable person, tapi juga memahami makna berserah, tawakkal. Latihan menerima sesuatu di luar rencana kita, di luar itungan kita. Bukankah penghambaan ini diulang-ulang setiap sholat? Alloohu akbar. Islam itu berasal dari kata aslama yang artinya menyerah. Menyerahkan urusan kepada Allah Azza Wa Jalla
0 comments:
Posting Komentar